My Coldest CEO

45| Rich Considerations?



45| Rich Considerations?

0Namanya juga rencana, pasti ada yang berhadil dan tentu saja ada yang bertolak belakang. Kini Azrell berada di balkon, menatap halaman depan rumahnya dengan tatapan kosong. Ia tidak suka bahwa pada kenyataannya, Rio lah yang menanamkan benih di rahimnya bukan Leo. Ia ingin sekali kalau dirinya benar-benar positif hamil, janin ini harus segera dibasmi atau dengan kata lain aborsi.     

Lagipula, siapa yang sudi memiliki anak yang tidak diinginkan? tidak ada, termasuk dirinya.     

Tapi banyak tanggapan tentang ketulusan akan kenyataan kalau janin itu adalah sebagian darah dagingnya, dan berusaha menerima takdir. Karena kesalahan berasal dari orang itu, bukan dari hasil apa yang di perbuat.     

"Jangan di pikirkan, nanti aku akan tetap tanggung jawab untuk kamu."     

Suara bariton yang setelah kejadian itu pun mengembalikan ke rumah bahkan mengobrol dengan mulus pada Sam dan juga Nayya. Kedua orang tuanya hanya tau kalau Rio adalah laki-laki baik yang memulangkan putri mereka dengan selamat, padahal Rio lah yang kini menjadi laki-laki brengsek karena telah menghamilinya.     

Menolehkan kepala ke sumber suara, Azrell memutar kedua bola matanya merasa jengah. "Kenapa tidak pulang-pulang? untuk apa juga masih berada di rumah ku ini, seperti tidak ada kerjaan lain saja di hidup mu." ucapnya dengan nada yang tidak begitu bersahabat.     

Mungkin melakukan hubungan badan sebebas itu adalah hal yang nikmat karena bisa membawa dirinya sampai tingkat nafsu yang seolah-olah dapat menguapkan masalah hidup. Tapi, sejauh ini hanya Rio yang ceroboh karena mengiyakan ucapan mabuknya untuk melepaskan pengaman.     

"Ya aku di sini untuk... menjaga mu?"     

"Tidak perlu di jaga, aku bukan wanita lemah yang membutuhkan penjagaan dari laki-laki brengsek."     

"Siapa yang brengsek? maksudmu itu Leo?"     

Geram. Azrell rasanya ingin memukul dada bidang berbentuk milik Rio, namun ia sadar kalau kekuatannya hanya seujung jari laki-laki tersebut. Tatapannya menurun saat melihat kedua tangan Rio yang membawakan menu makan siang beserta... jus mungkin?     

"Kamu belum makan, iya kan? dari pagi loh sejak kita kembali ke rumah kamu, tapi kamu malah mogok makan." ucap Rio sambil melangkahkan kakinya, mendekati Azrell dan langsung saja mendaratkan bokongnya di atas sofa yang memang tersedia di balkon untuk melihat view menyegarkan dari halaman rumah dengan pepohonan dan tanaman lainnya yang terawat.     

Azrell memutar bola matanya, lalu menggeser tubuh kala lengan Rio menyentuh lengannya. "Ngapain sih dekat-dekat? udah sana ah pulang, gak usah sok perhatian." ucapnya sambil sedikit mendorong tubuh laki-laki yang kini sudah berada di sampingnya.     

"Makan dulu, jangan sibuk mengurusi takdir kalau mantan dari seorang Leonardo Luis akan menjadi masa depan dari seorang Lethuce Fabrio."     

"Jangan mimpi, Rio. Nanti kalau jatuh tidak akan ada orang yang bisa membantu mu,"     

"Aku laki-laki, kalau jatuh bisa bangkit tanpa bantuan tangan-tangan sampah. Tapi kalau tangan mu, aku akan terima dengan lapang dada."     

Jurus gombalan yang tiada henti dilontarkan Rio membuat Azrell benar-benar muak. Kenapa ada laki-laki model seperti ini yang masuk ke dalam hidupnya? level dari seorang Leo yang sangat berkharisma dan romantis, menurun jadi level Rio yang sangat receh dan banyak omong.     

"Jangan merayu, kemarikan makanannya." ucapnya sambil menengadahkan tangan untuk meminta piring yang masih setia di pegang Rio. Ia lebih baik mengikuti segala ucapan laki-laki itu saja daripada urusannya bertambah panjang dengan topik pembicaraan berbelit.     

Rio mengulum senyuman, ia sudah menaruh gelas berisi jus di atas meja lalu ia mengubah posisi menjadi sepenuhnya menatap ke arah Azrell. "Aku suapin aja, jangan banyak protes atau aku akan mengoceh lagi." ucapnya dengan menyelipkan kalimat berupa ancaman tak terlalu merugikan.     

Menghembuskan napas, Azrell akhirnya menganggukkan kepalanya.     

Rio tersenyum dan mulai menyuapi Azrell, tiap sendok yang ia masukkan ke dalam mulut wanita tersebut di arahkan secara perlahan. Selembut ini dirinya memperlakukan seorang wanita, hanya saja mungkin sebagian dari mereka tidak menyukai laki-laki yang sepertinya dirinya.     

"Aku bilang sama Leo kalau ini anak dia, hanya itu saja yang aku katakan."     

Azrell memberanikan diri untuk mengatakan hal itu kepada Rio. Padahal kini jantungnya berdegup cepat karena takut kalau Rio marah akan hal ini.     

"Kenapa begitu? apa kamu tidak senang kalau semisalnya benih ku menjadi janin yang artiannya aku adalah Daddy dari sang bayi?"     

"Bukan begitu, Rio..."     

"Terus apa kalau bukan begitu?"     

Azrell mengunyah terlebih dahulu makanan yang berada di dalam mulutnya sebelum menjawab pertanyaan Rio yang terdengar tidak suka, namun wajah laki-laki tersebut masih damai dan tenang.     

"Aku..."     

"Masih mengharapkan Leo dan menumbalkan janin kita sebagai alat pemancing supaya laki-laki itu kembali pada mu, iya?"     

Azrell melihat tangan Rio yang merosot, laki-laki itu menaruh piring yang ada di tangannya. Terlihat tatapan sendu dari balik iris mata yang indah, sama persis dengan yang di miliki Felia.     

"Enggak, bukan gitu.."     

"Bukan gitu gimana? mungkin maksud mu itu bukan salah lagi, iya kan?"     

Azrell menghela napasnya. Iya benar, ia adalah wanita egois yang masih mengejar sesuatu yang tidak bisa di raih. Meninggalkan laki-laki yang kini sedang memberikan tanggung jawab penuh untuk dirinya walaupun baru satu hari bertemu.     

Rekor baru, bertemu satu hari tapi sudah berhasil menjadikan seorang wanita sebagai kepemilikannya. Ah tidak satu hari, mungkin hanya beberapa jam akibat olahraga panas di malam hari.     

"Maaf, Rio.." hanya itu saja yang bisa di katakan Azrell. Entah kenapa ia masih buta dengan cinta Leo yang melekat jelas di hatinya.     

"Kenapa tidak menerima laki-laki baru? Memangnya kamu pikir dengan kamu yang mengaku-ngaku dihamili Leo tidak akan membuat dia kepikiran? bisa jadi nanti malah menimbulkan pertengkaran dengan Felia."     

Azrell mengerjapkan kedua bola mata, lalu sedetik kemudian matanya berubah menjadi menyipit seperti menginterogasi. "Tunggu, dari mana kamu tahu tentang Felia? ku lihat-lihat media massa belum gencar memperkenalkan wanita itu di depan publik, kenapa kamu tau?" tanyanya dengan raut wajah kebingungan dan penasaran yang bercampur menjadi satu.     

Rio terkekeh, "ya aku pernah bertemu dengannya." jawabnya dengan anggukan kecil. Melihat sorot mata Azrell yang sangat penasaran dengan dirinya yang bertemu dengan Felia menghadirkan sebuah perasaan heran pada benaknya.     

"Kapan? dimana? dan bagaimana bisa?"     

"Saat kamu menghampiri mereka berbelanja, aku bertemu dengan Felia yang sedang duduk di taman. Dan ya, aku ajak mengobrol."     

Dalam hati, Azrell mengumpat kasar. Bagaimana bisa laki-laki yang berada di hidupnya mengenal dan dekat dengan Felia? Apa pesonanya kurang menarik jika di bandingkan dengan wanita itu? Ah tidak, tidak ada siapapun yang bisa menandinginya.     

Dari Sam, Leo, bahkan sampai Rio sudah berhasil menempatkan nama Felia di hidup mereka. Muak? tentu saja! seolah-olah apa yang ia lakukan tidak ada artinya bagi wanita yang dulu sudah dirinya anggap sebagai adik.     

Iya sangat paham dengan hadirnya kejadian ini, kalau kebaikan yang melekat di tubuhnya harus memiliki porsi untuk di berikan pada orang lain.     

"Oh,"     

Hanya satu kata yang keluar dari mulut Azrell. Memangnya ia harus merespon apa? memberikan selamat karena sudah bertemu dengan Felia? tentu saja tidak seperti itu.     

"Kenapa? kamu pasti cemburu ya?"     

"Loh, siapa yang cemburuan? memangnya kamu siapa ya? ingat ya Rio kita bukan siapa-siapa kecuali partner hubungan badan kemarin malam."     

"Tapi kamu menerima benih ku, akui saja Azrell."     

"Dan ya, ada tapi lagi. Tapi, benih itu belum tentu akan menjadi janin, iya kan?"     

Azrell mengangkat senyumannya, ia menatap Rio yang sedang menampilkan wajah kecutnya. Baru saja ia ingin angkat bicara untuk menyambung kalimat sebelumnya, laki-laki di sampingnya ini sudah beranjak dari duduk.     

"Aku mau pulang, dan ya ini kartu nama ku." ucap Rio dengan wajah pasrah. Ingin bertanggung jawab tapi malah di perlakukan seperti ini, malah di aku-akui benihnya adalah milik Leo. Menyebalkan sekali, daripada nanti bertengkar dan dirinya tersulut emosi lebih baik ia segera pergi.     

Azrell melihat kepergian Rio setelah laki-laki itu menaruh kartu nama ke atas meja, hilang di balik pintu kamar miliknya yang kembali tertutupi rapat. "Harus merasa senang, atau gimana?" tanyanya pada diri sendiri, ia menarik senyuman setidaknya terbebas dari laki-laki yang banyak bicara.     

Meraih kartu nama, hanya kertas kecil namun kokoh. Membaca tiap tulisan yang terdapat di sana, lalu menaikkan sebelah alisnya. "Loh, dia juga CEO? berarti... kaya dong?" tanyanya dengan senyuman kecil yang perlahan mengembang.     

Namanya juga wanita, tidak matre san mata duitan pasti tidak akan bisa terpenuhi segala keinginannya. Jadi, wanita itu wajar matre karena untuk kebutuhannya sendiri yang mempercantik diri. Itu juga untuk pasangannya nanti, bukan untuk laki-laki lain.     

"Profesi sebagai CEO, tapi dimana? tidak ada letak alamat kantor, ah mungkin privasi. Tapi di sini hanya ada nomor telepon saja,"     

Alamat tidak tertera, mungkin tidak ingin ada orang lain yang menyalah gunakan kartu nama milik Rio jadi laki-laki itu tidak begitu detail memberikan informasinya.     

"Kalau begitu, berarti aku terjamin dong?"     

Ia langsung saja meraih ponselnya yang juga tergeletak di atas meja, mulai menyalin nomor telepon tersebut untuk di simpan pada benda elektronik yang berbentuk pipih itu.     

Satu yang membuat awal mula ia jatuh cinta pada Leo, yaitu harta. Ya kali saja karena ini dirinya benar-benar bisa jatuh cinta lagi pada Rio, walaupun dengan awalan harta kan setidaknya ia punya cadangan kalau Leo tidak mempercayai dirinya.     

Beralih menatap pesannya yang hanya di baca oleh Leo saja, ia menaikkan sebelah alisnya. Apa iya laki-laki itu sudah tidak meliriknya sama sekali? di Paris bersama dengan mantan temannya adalah hal yang terdengar sangat menyakitkan. Apalagi, Paris adalah negara pertama yang mereka kunjungi.     

"Kalau begitu, aku berharap jika nanti Felia merasakan hal yang serupa dengan diriku, selamat."     

Jadi, mulai saat ini Rio akan menjadi pertimbangan untuk dirinya. Ia cukup tersentuh dengan apa yang dilakukan laki-laki itu, bodohnya hati masih memilih Leo.     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.